Senin, 22 Juli 2013

Sejarah dan kebudayaan Kabupaten Gowa


Sejarah dan Kebudayaan Gowa

A. SEJARAH DAN ASAL USUL GOWA
1. Asal Usul Nama Gowa 
Nama Gowa hingga saat ini belum diketahui pasti asal usulnya, mengingat belum ada sebuah buku lontarak pun yang menerangkannya, hanya saja ada beberapa pendapat dari ahli sejarah seperti Ahmad Makka Rausu Amansya Daeng Ngilau, mengemukakan bawah nama Gowa mungkin sekali berasal dari kata “GOARI” yang berarti “kamar atau bilik”. Kemudian Prof. Mattulada menerangkan makna kata Gaori itu berarti “Penghimpunan” ke dalam suatu tempat atau ruangan. Biasanya penghimpunan sejumlah (pemimpin) kaum secara bersama-sama menyatukan diri dalam suatu persekutuan teritorial. 
Menurut Andi Ijo Karaeng, nama Gowa sebenarnya berasal dari perkataan ‘Gua” yang berarti “liang” di mana sekitar tempat Hulah ditemukan hadirnya Tumanurunga sebutan. Lahirnya penyebutan Gowa sebagai nama kerajaan, mungkin juga tidak terlepas dari sejarah pengangkatan Tumanurunga menjadi raja Gowa pertama. Diriwayatkan pada masa sebelum hadir Tumanurunga di butta Gowa, ketika itu Gowa berbentuk kerajaan-kerajaan kecil yang mengikatkan diri dalam bentuk persekutuan (Bondgenoot) atau pemerintahan gabungan (Federasi) di bawah penguasaan Paccailaya (ketua dewan hakim pemisah). Kesembilan Kasuwiang disebut juga Kasuwiang Salapanga atau “Sembilan kelompok kaum” yang mewakili masing-masing dalam persekutuan itu ialah :
1. Kasuwiang Tombolo 
2. Kasuwiang Lakiung 
3. Kasuwiang Samata 
4. Kasuwiang Parang-parang 
5. Kasuwiang Data 
6. Kasuwiang Agang Je’ne
7. Kasuwiang Bisei 
8. Kasuwiang Kailing
9. Kasuwiang Sero 
Kondisi tanah Gowa masa sebelum hadirnya Tumanurunga senantiasa dilanda perang saudara antara Gowa bagian utara dan Gowa bagian selatan seberang Jeneberang. Oleh karena itu diperlukanlah seorang pemimpin yang berwibawa untuk mengatasinya. Diriwayatkan terdengarlah berita oleh Paccallaya bahwa ada seorang putri yang turun dari atas bukit Tamalate tepatnya di Taka’bassia. Orang-orang yang berada di Bontobiraeng melihat sesuatu di sebelah utara seberkas cahaya di atas, bergerak perlahan-lahan turun ke bawah ternyata menuju Taka’bassia tepatnya persis di atas sebuah bongkahan batu perbukita. Gallarang mangasa dan tombolok yang memang diserahi tugas mencari tokoh yang bisa menjadi pemersatu kaum dalam persekutuan Butta Gowa. Paccailaya bersama kesembilan kasuwiang bergegas ke Taka’bassia. Mereka duduk mengelilingi cahaya tersebut sambil bertafakkur. Serta merta dari cahaya menjelma wujud manusia, seorang wanita cantik menakjubkan dengan memakai pakaian kebesaran yang mengagumkan kasuwiang salapanga dan paccallaya tak mengetahui nama dari puteri ratu tersebut sehingga diberi nama “Tumarunung Bainea” atau Tumarununga yang artinya orang (wanita) yang menjelma yang turun dari atas dan tidak diketahui asal usulnya. 
Paccallaya dan kasuwiang salapangan kemudian bersepakat menjadikan Tumanurunga raja, dan memberitahukan kepada oragn-orang yang berperang agar menghentikan pertempuran. Paccallaya kemudian mendekati Tumanurunga dan bersembah “Sombangku!” (Tuanku) kami datang semua ke hadapan sombangku, kiranya sombangku sudi menetap di negeri kami dan sombakulah yang merajai kami”. Permohonan Paccallaya pun dikabulkan oleh Tumanurunga dan berseru kepada orang banyak yang hadir di tempat itu, “Sombai karaengnu tu Gowa!” (sembahlah rajamu hai orang Gowa), maka gemuruhlah orang banyak “Sombangku”. Mungkin sejak itulah bermula nama Gowa dipergunakan secara resmi sebagai sebutan bagi kerajaan Gowa. 

2. Sejarah Ringkas Gowa 
    Masa sebelum kemerdekaan 
Berdasarkan bukti sejarah, maka dapat dipastikan bahwa sejarah Indonesia sebenarnya harus dibagi tiga periode sebelum terbentuknya Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu. Pertama, periode Sriwijaya di Palembang, Kedua Majapahit di Jawa Timur dan Ketiga Gowa di Sulawesi Selatan. Ketiga kerajaan dalam periode masing-masing memiliki pengaruh dan kekuasaan yang lebih luas dari seluruh kerajaan yang pernah ada di tanah air. Kerajaan Gowa dari Kawasan Timur di abad VI-XVII menguasai dua pertiga nusantara. 
Kapan waktu permulaan lahirnya Kerajaan Gowa dan kemudian menjadi imperium tersebut, sampai kini belum diketahui pasti buku lontarak sendiri yang merupakan sumber utama tentang hal itu terlalu ringkas menerangkannya. Dalam lontarak hanya dikemukakan, bahwa sebelum Gowa diperintah seorang putri yang dinamakan Tumanurunga, ada empat raja sebelumnya pernah mengendalikan Gowa purba berturut-turut yaitu : 
1. Batara Guru 
2. Saudara Batara Guru yang dibunuh oleh Tatali, tidak diketahui nama aslinya. 
3. Ratu Sapu atau Marancai
4. Karaeng Katangka, yang nama aslinya juga tidak diketahui. 
Dari mana asal keempat raja tersebut, dan bagaimana cara pemerintahannya tidak diketahui pula, tetapi mungkin pada zaman mereka pula Gowa purba terdiri dari sembilan negeri dan mungkin juga lebih yang dikepalai seorang penguasa sebagai raja kecil. Sesudah pemerintahan Karaeng Katangka, maka sembilan kerjaan kecil bergabung dalam bentuk pemerintahan Federasi yang diketuai seorang pejabat disebut Paccallaya yang diangkat kalangan mereka. Kesembilan kerajaan yang tergabung itulah yang disebut Kasuwirang Salapanga. 
Sebagaimana digambarkan dalam uraian asal usul Gowa di atas, jelaskan tonggak peristiwa sejarah yang menandai terbentuknya kerajaan Gowa secara resmi adalah dimulai ketika kehadiran Tumanurunga di Taka’bassia Tamalate berdasarkan atas perjanjian pemerintahan (Government Contract) antara Tumanurunga dengan sembilan Kasuwiang yang terjadi kira-kira tahun 1300 sesuai kesepakatan antara Tumanurunga dengan kesembilan Kasuwiang itu, dinyatakan berdirinya sebuah kerajaan berdasarkan kesediaan kesembilan Kasuwiang menyerahkan daerahnya masing-masing dan tunduk di bawah pemerintahan Tumanurunga sebagai “Somba Ri Gowa” (Raja Gowa) yang sekaligus merupakan simbol persatuan seluruh orang Makassar pada saat itu. 
Masa pemerintahan Tumanurunga berlangsung sejak tahun 1320-1345. Sejak itu pemerintahan di bawah Tumanurung, pemerintahan berlangsung aman tanpa ada lagi bentrok fisik. Diriwayatkan bahwa raja Tumanurunga kemudian kawin dengan Karaeng Bayo, seorang pendatang yang tidak diketahui asal muasal dan negerinya, hanya dikatakan berasal dari arah selatan bersama seorang temannya bernama Lakipadada. Dari perkawinan tersebut lahirlah Tumassalangga Baraya yang menjadi raja Gowa kedua (1345-1370) setelah pemerintahan ibunya. 
Diriwayatkan bahwa sejak raja Gowa pertama hingga raja Gowa VIII Pakere’-Tau Tunijallo dipusatkan di Tamalate ialah tempatnya dibangun istana Raja Gowa pertama dan merupakan ibu kota pertama kerajaan Gowa sebelum berpindah ke Somba Opu. 

Masa Sesudah Kemerdekaan 
Pada awal dicetuskannya Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, yang menandai gabungan seluruh daerah nusantara ke dalam negara kesatuan, rakyat Gowa tetap tampil berjuang mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Daerah Gowa merupakan basis utama gerakan seperti Lipang Bajeng, Macan Putih (Macan Keboka) dan Harimau Indonesia, beserta pangkalan tokoh-tokoh seperti Wolter Menginsidi, Emmi Saelan dan Ranggong Daeng ROmo. Hal yang patut diketahui lebih jauh adalah reorganisasi pemerintahan Gowa sesudah Kemerdekaan di zaman NIT (Negara Indonesia Timur) ketika Raja Gowa XXXVI, Andi Ijo Karaeng Lalolang Putera I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo (Raja Gowa XXXV) dilantik pada tanggal 25 April 1947, walaupun pengangkatannya disahkan pemerintahan Belanda pada September 1946. 
Sejarah pemerintah Gowa mengalami perubahan sesuai dengan sistem pemerintahan Republik Indonesia. Setelah NIT dibubarkan dan berlaku sistem pemerintahan parlementer berdasarkan UUD 1950, dan lebih khusus memenuhi Undang-Undang Darurat No. 2 tahun 1957, maka daerah Swapraja yang bergabung dalam Onderafdeling Kabupaten Makassar dibubarkan. 
Kemudian pada tahun 1971, Gowa terpaksa dihadapkan kepada suatu pilihan yang sulit ditolak atas PP No. 51/1971 tentang perluasan wilayah Kota Madya Ujung Pandang sebagai ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan PP tersebut Gowa akhirnya menyerahkan sebagian wilayahnya, yaitu kecamatan Panakukang dan Kecamatan Tamalate, beserta Desa Barombong (sebelumnya adalah salah satu desa dari kecamatan Pallangga). Jumlah seluruhnya 10 desa yang dialihkan masuk dalam wilayah administratif Kota Madya Ujung Pandang 

B. LEGENDA OBJEK-OBJEK WISATA 
1. Wisata Sejarah 
a. Benteng Somba Opu 

      Benteng Samba Opu kini menjadi salah satu objek wisata di Kabupaten Gowa yang terletak di pesisir pantai pada sebelah utaram timur dan selatan, dikelilingi oleh Sungai Jeneberang, sedang pada sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar. Di dalam lokasi itu telah dibangun rumah adat dari 23 kabupaten di Sulawesi Selatan yang beraneka ragam bentuknya sehingga tempat tersebut dikenal dengan nama "Taman Miniatur Sulawesi". Di Benteng Somba Opu ini setiap tahunnya diadakan Pekan Kebudayaan yang memamerkan hasil-hasil pembangunan setiap daerah di Sul-Sel. Di Benteng Somba Opu ini pula pada abad ke XV lalu mempunyai sejarah sebagai tonggak kejayaan Gowa di masa lampau.

b. Benteng Kebesaran Gowa
Semasa Pemerintahan Tumanurunga di Tamalate (Gowa) sampai dengan masa Pemerintahan Raja Gowa VII "I Pakerektau" dengan gelar anumertanya 'Tunijallokri Passuki", di Kerajaan Gowa belum dikenal adanya benteng. Pada masa Pemerintahan Raja Gowa IX Karaeng Tumapakrisikallonna sebagai pembaharu di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan, maka pada masa itulah benteng-benteng pertahanan Gowa mulai dibangun walaupun terbuat dari tanah liat.
Berita tentang Somba Opu telah diperoleh keterangan baik dari Lontarak kerjaan maupun berita asing (Portugis, Belanda). Kedua sumber tersebut menyebutkan bahwa Benteng Somba Opu didirikan atas perintah Raja Gowa IX Karaeng Tumapakrisi Kallona. Bagindalah sebagai peletak dasar pembangunan Kastel (Benteng) Somba Opu dan mendirikan dawala di sekelilingnya dari tanah liat. 
Sejalan dengan berkembangnya pelayaran, perdagangan, di seputar Kepulauan Asia Tenggara, di semua pantai-pantai strategis bermunculan kota dan pelabuhan niaga mendorong Somba Opu menjadi salah satu kota dagang rempah-rempah di wilayah belahan Indonesia Timur.
Akibat jatuhnya Malaka pada tahun 1511 dan mundurnya bandar niaga di Jawa, para pedagang mengalihkan perhatiannya ke kota Benteng Somba Opu. Mereka berdatangan dan menetap di tempat itu.

c. Balla Lompoa Ri Gowa
Latar belakang Sejarah 
Ballak Lompoa ri Gowa dibangun sejak tahun 1936 setelah diangkat Raja Gowa XXXV, I Mangngi-mangngi Daeng Matutu, Karaeng Bontonompo yang bergelar Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin. Dengan dibangunnya Balla Lompoa sebagai tempat kediaman sekaligus juga sebagai pusat pemerintahan kerjaan Gowa.
Sebelum Ballak Lompoa dibangun sudah ada tempat kegiatan untuk melaksanakan pemerintahan Kerajaan Gowa yakni kantor kontrolir onderafdeling yang berlokasi tidak jauh dari Ballak Lompoa dengan diantarai Lapangan Bungaya, tepatnya di lokasi bekas Kantor Bupati Kepala Daerah Tingkat II (yang lama). 
Setelah Raja Gowa XXXV wafat dalam tahun 1946, maka dia digantikan oleh putranya yang bernama Audi Ijo Daeng Mattawang, Karaeng Lalolang menjadi Raja Gowa terakhir yakni ke-36. Sebelum jadi raja, Andi Ijo pernah mendampingi ayahnya dalam pemerintahan dengan jabatan Tumailalang (Jabatan inti di bawahraja).
 Nilai Religius 
Di samping punya nilai historis, Balla Lompo juga mempunyai nilai religius yang berpedoman pada falsafah hidup manusia. Bahwa masyarakat Gowa memiliki pandangan kosmologis dan berpikir bahwa hidup ini hanya tercapai bila antara makrokosmos dan mikrokosmos senantiasa terjalin hubungan harmonis. 
Nilai religius lainnya adalah adanya pandangan bahwa alam raya dari tiga susun, yakni dunia atas, tengah, dan bawah. Hal ini dalam bentuk rumah adat Makassar yang terdiri dari tiga bagian yakni pada bagian atas rumah disebut loteng (Pammakkang), bagian tengah merupakan badan rumah (Kale Balla) dan pada bagian bawah rumah disebut kolom rumah (siring).
 Cerak Kalompoang
Accera Kalompoang/Gaukang yakni upacara pencucian benda-benda kebesaran/pusaka, utamanya benda dari Kerajaan Gowa yang dilaksanakan bertepatan dengan hari raya Idul Adha. Acara ini dimulai sejak masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin. Menurut kepercayaan orang-orang Makassar dahulu, bilamana benda-benda kerajaan telah selesai dicuci timbangannya berkurang berarti akan ada malapetaka yang akan menimpa negerinya, atau tidak mendatangkan keberhasilan, tapi sebaliknya bila benda itu dicuci timbangannya lebih berat dari semula, pertanda akan dapat mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat.
Balla lompo kini menjadi salah satu objek wisata di Kabupaten Gowa yang ternyata menarik perhatian. Terbukti dengan banyaknya arus dari berbagai klasifikasi, yakni berupa tamu negara, manca negara, pejabat/dinas, siswa/mahasiswa, peneliti dan umum, setiap tahunnya terus bertambah. 

d. Ballalompoa Ri Bajeng
Semenjak Karaeng Loe menginjakkkan kakinya di Bajeng dan berkuasa sebagai Raja Bajeng pada abad ke-15, maka pada saat itu pula Karaeng Loe memerintahkan rakyatnya untuk' membangun sebuah istana di Bajeng yang nantinya akan dijadikan sebagai pusat kerajaan Bajeng dalam menjalankan roda pemerintahan.
Pembuatan Balla Lompoa di Bajeng pada masa lalu bahan kayunya diambil dari Pa’bentengan sebagai sumbangan dari Karaeng Majolong karena di Pa’bentengan dulunya terdapat banyak kayu berkualitas tinggi, sedangkan atap nipanya ditanggung oleh orang-orang Bajeng yang berada di Balosi (Maros).
Sebagai tanda bahwa rumah tersebut adalah istana kerajaan, kita dapat melihat dari “Sambulayang” (atap bagian depan bangunannya), kalau orang bajeng menyebutnya “timba sila” Timba sila raja terdiri dari 5 susun, sama halnya dengan Balla Lompoa di Gowa. Itulah perbedaan dengan rumah rakyat biasa, yang timba silanya hanya sekitar dua atau tiga susun saja. 

e. Bungung Banaria Ri Bajeng
Pada abad ke-15 ada seorang raja yang berkuasa di Bantaeng bernama Karaeng Loe yang sangat disenangi oleh rakyatnya. Menurut riwayat, Karaeng Loe ini mulanya menjadi raja di Bantaeng kemudian memperluas wilayahnya sampai ke Polong Bankeng (Takalar) dan akhirnya pindah lagi kerajaannya ke daerah Bajeng. Di Bajeng, Karaeng Loe dan pengikutnya melakukan perjalanan yang akhirnya sampai di suatu perkampungan namanya Kampung "Mata Allo". Di tempat itu, Karaeng Loe dan pengikutnya merasa kehausan, sedang sumber air tidak ada.
Karaeng Loe mendapat ilham dari Yang Maha Kuasa agar tongkat yang dipegangnya itu ditancapkan ke tanah sehingga membentuk sebuah lobang besar, dan dari lubang itu keluar sumber air. 
Setelah Karaeng Loe dan pengikutnya minum dan mandi dari air sumur itu, tiba-tiba timbul dalam dirinya perasaan keberanian dan keperkasaan yang sebelumnya tidak dimiliki. Semangat untuk berperang kian berkobar pada setiap prajurit yang pernah meminum air sumur tersebut. Maka saat itu pula, sumur itu diberi nama "Bungung Barania" artinya minum dan mandi air sumur itu, akan timbul keberanian. 


2. Wisata Budaya
a. Tari-tarian 
Keyakinan masyarakat Gowa pada masa lampau bergantung pada alam gaib atau alam tak nyata. Karena itu tari merupakan alat untuk menyampaikan sesuatu yang diinginkan. Tari-tarian khas dari Gowa ini beraneka ragam jenisnya, antara lain : 
1. Tari Pakkarena 
Suatu tarian adat dari kerajaan Gowa. Dahulu kala selalu ditarikan oleh putri bangsawan pada setiap peristiwa atau upacara-upacara penting dalam lingkungan istana sebagai pemujaan atas dewa-dewa. 
2. Tari Bosarak 
Melukiskan tara cara tradisional dalam menyambut tamu agung pada pesta perkawinan. 
3. Tari Anging Mamirik
Lamunan seorang gadis yang ditinggalkan kekasihnya kemudian ia dihibur oleh dua orang teman karibnya. 
4. Tari Rapang Bulang
Melukiskan gadis-gadis yang sedang bergembira ria menghibur diri karena mereka sedang merindukan kekasihnya yang pergi mengarungi samudera. 
5. Tari di Ujung Badik 
Suatu kisah tentang harga diri (sirik) di mana seorang putri bangsawan telah melanggar adat karena mencintai jejaka yang tidak sederajat dengannya (ata). Penyelesaian di Ujung Badik dengan pertumpahan darah telah meluap pada suatu ketika demi karena sirik dan kecintaan. 
6. Tari Pakurruk Sumangak
7. Tari Makjekne-jekne
8. Tari kipas
9. Tari Takontu
10. Tari Jangan Lea-lea

b. Alat Musik Tradisional 
1. Seruling 
2. Basing-basing 
3. Puik-puik 
4. Sikunru
5. Genggong
6. Tendong-tendong 
7. Ganrang Bulo 
8. Kacaping 
9. Kere-kere Gallang 
10. Ganrang (gendang) 
11. Gong 

c. Pakaian adat 
1. Baju Bodo : baju tanpa lengan 
2. Lipa’ Sabbe
3. Jas
4. Passapu
5. Songkok Guru 
6. Jempang 
7. Salawik
8. Pallawang 
9. Ponto 
10. p
11. Tokeng 
12. Subang 
13. Simatiyak 
14. Ponto Naga 
15. Songkok Nicappai, dll

d. Benda-benda Peninggalan Sejarah Kerajaan Gowa 
1. Salokoa (Mahkota) 
Terbuat dari bahan emas murni dan beberapa butiran permata berlian dan lain-lain. 
2. Ponto Janga-jangaya
Terbuat dari emas murni dengan berat seluruhnya 958,5 gram. 
3. Tamadokkaya 
Tamadokkaya adalah jenis mata tombak, bisa dipergunakan sebagai senjata sakti pada masa kerajaan Gowa.
4. I jingnga
I jingnga adalah jenis mata tombak dari besi hitam, berukir emas berfungsi sebagai senjata sakti pada masa kerajaan Gowa. 
5. Ibukle 
Ibukle adalah jenis mata tombak sebagai anak sumpit dari besi hitam. 
6. Lasippo 

e. Wisata Alam 
Malino 
1. Passanggrahan Malino 
2. Air Terjun 
3. Kawasan Hutan Pinus 
4. Perkebunan Markisa 
Danau Mawang 
Danau Mawang yang berlokasi di Kelurahan Romangloe Kab. Gowa (dekat Perum Kertas Gowa)


MASA KERAJAAN

      Pada tahun 1320 Kerajaan Gowa terwujud atas persetujuan kelompok kaum yang disebut Kasuwiyang-Kasuwiyang dan merupakan kerajaan kecil yang terdiri dari 9 Kasuwiyang yaitu Kasuwiyang Tombolo, Lakiyung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Kalling, dan Sero.
Pada masa sebagai kerajaan, banyak peristiwa penting yang dapat dibanggakan dan  mengandung citra nasional antara lain Masa Pemerintahan I Daeng Matanre Karaeng Imannuntungi Karaeng Tumapa’risi Kallonna berhasil memperluas  Kerajaan Gowa melalui perang dengan menaklukkan Garassi, Kalling, Parigi, Siang (Pangkaje’ne), Sidenreng, Lempangang, Mandalle dan lain-lain kerajaan kecil, sehingga Kerajaan Gowa meliputi hampir seluruh dataran Sulawesi Selatan.
Di masa kepemimpinan Karaeng Tumapa’risi Kallonna tersebutlah nama Daeng Pamatte selaku Tumailalang yang merangkap sebagai Syahbandar, telah berhasil menciptakan aksara Makassar yang terdiri dari  18 huruf yang disebut  Lontara Turiolo.
Pada tahun 1051 H atau tahun 1605 M, Dato Ribandang menyebarkan Agama Islam di Kerajaan Gowa dan tepatnya pada tanggal 9 Jumadil Awal tahun 1051 H atau 20 September 1605 M, Raja I Mangerangi Daeng Manrabia menyatakan masuk agama Islam dan mendapat gelar Sultan Alauddin. Ini kemudian diikuti oleh Raja Tallo I Mallingkaang Daeng Nyonri Karaeng Katangka dengan gelar Sultan Awwalul Islam dan beliaulah yang mempermaklumkan shalat Jum’at untuk pertama kalinya.
Raja I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Muhammad Bakir Sultan Hasanuddin Raja Gowa ke XVI dengan gelar Ayam Jantan dari Timur, memproklamirkan Kerajaan Gowa  sebagai kerajaan maritim yang memiliki armada perang yang tangguh dan kerajaan terkuat di Kawasan Indonesia Timur.
Pada tahun 1653 – 1670, kebebasan berdagang di laut lepas tetap menjadi garis kebijaksanaan Gowa di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin. Hal ini mendapat tantangan dari VOC yang menimbulkan konflik dan perseteruan yang mencapai puncaknya saat Sultan Hasanuddin menyerang posisi Belanda di Buton.
Akibat peperangan yang terus menerus antara Kerajaan Gowa dengan VOC mengakibatkan jatuhnya kerugian dari kedua belah pihak, oleh Sultan Hasanuddin melalui pertimbangan kearifan dan kemanusiaan guna menghindari banyaknya kerugian dan pengorbanan rakyat, maka dengan hati yang berat menerima permintaan damai VOC.
Pada tanggal 18 November 1667 dibuat perjanjian yang dikenal  dengan Perjanjian Bungaya (Cappaya ri Bungaya). Perjanjian tidak berjalan langgeng karena pada tanggal 9 Maret 1668, pihak Kerajaan Gowa merasa dirugikan. Raja Gowa kembali dengan heroiknya mengangkat senjata melawan Belanda yang berakhir dengan jatuhnya Benteng Somba Opu secara terhormat. Peristiwa ini mengakar erat dalam kenangan setiap patriot Indonesia yang berjuang gigih membela tanah airnya.
Sultan Hasanuddin bersumpah  tidak sudi bekerja sama dengan Belanda dan pada tanggal 1 Juni 1669 meletakkan jabatan sebagai Raja Gowa ke XVI setelah hampir 16 tahun melawan penjajah. Pada hari Kamis tanggal 12 Juni 1670 Sultan Hasanuddin mangkat dalam usia 36 tahun. Berkat perjuangan dan jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara, maka dengan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973 tanggal 16 Nopember 1973, Sultan Hasanuddin dianugerahi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional.
Dalam sejarah berdirinya Kerajaan Gowa, mulai dari Raja Tumanurung Bainea sampai dengan setelah era Raja Sultan Hasanuddin  telah mengalami 36 kali pergantian Somba (raja) sebagaimana terlihat pada tabel berikut :

 

Nama-Nama Raja Kerajaan Gowa dari Tahun 1320 s/d 1957


No.
Nama Raja
Periode
1.
Tumanurung Bainea (Putri Ratu)
-
2.
Tamasalangga Baraya
1320 - 1345
3.
I Puang Loe Lembang
1345 - 1370
4.
I Tuniata Banri
1370 - 1395
5.
Karampang Ri Gowa
1395 - 1420
6.
Tunatangka Lopi
1420 - 1445
7.
Batara Gowa Tuniawangngang Ri Paralakkenna
1445 - 1460
8.
IPakereÕ Tau Tunijallo Ri Passukki
1460
9.
Dg. Matanre Krg. Mangngutungi TumapaÕrisi Kallonna
1460 - 1510
10.
I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng.
1510 - 1546
11.
I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng DataÕ Tunibatta
1546 - 1565
12.
I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo.
1565 (40 hari)
13.
I Tepu Karaeng Daeng Parabbung Karaeng Bontolangkasa Tunipasulu Tumenanga Ri Butung.
1565 - 1590
14.
I Mangngerangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tumenanga Ri Gaukanna
1590 - 1593
15.
I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga Ri Papan Batuna.
1593 - 1639
16.
I Mallombasi Dg Mattawang Muhammad Basir Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Ballapangka.
1639 - 1653
17.
I Mappasomba Daeng Nguraga Karaeng Lakiung Sultan Amir Hamzah Tumammalianga Ri Allu.
1653 - 1669
18.
I Mappaossong Daeng Mangewai Karaeng Bisei Sultan Muhammad Ali Tumenanga Ri Jakattara.
1669 - 1674
19.
I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanro BoneSultan Abdul Jalil Tumenanga Ri Lakiung.
1674 - 1677
20.
La Pareppa Tu Sappewalia Karaeng AnaÕ Moncong Sultan Ismail Tumenanga Ri Somba Opu.
1677 - 1709
21.
I MappauÕrangi Karaeng Boddia Sultan Sirajuddin Tumenanga Ri Passiringanna.
1709 - 1711
22.
I Manrabia Karaeng Kanjilo Sultan Najamuddin Tumenanga Ri Jawaya.
1712 - 1724
23.
I MappauÕrangi Karaeng Boddia Sultan Sirajuddin Tumenenga Ri Passiringanna (Kedua kalinya)
1724 - 1729
24.
I Mallawagau Karaeng Lempangang Sultan Abdul Khair Al Mansyur Tumenanga Ri Gowa.
1729 - 1735
25.
I Mappababbasa Sultan Abdul Kudus Tumenanga Ri Bontoparang.
1735 - 1742
26.
Amas Madina ÒBatara Gowa IIÓ Sultan Usman (diasingkan ke Sailon oleh Belanda)
1742 - 1753
27.
I Mallisu Jawa Daeng Riboko Karaeng Tompobalang Sultan Maduddin Tumenanga Ri Tompobalang.
1753 - 1767
28.
I Temmasongeng / I Makkaraeng Karaeng Katangka Sultan Zainuddin Tumenanga Ri Mattoanging.
1767 - 1769
29.
I Mannawarri / I Sumaele Karaeng Bontolangkasa Karaeng Mangasa Sultan Abdul Hadi Tumenanga Ri Sambungjawa.
1769 - 1778
30.
I Mappatunru / I Manginyarang Krg Lembangparang Sultan Abdul Rauf Tumenanga Ri Katangka.
1778 - 1810
31.
La Oddangriu Daeng Mangeppe Karaeng Katangka Sultan Muhammad Zainal Abidin Abd. Rahman Amiril MuÕminin Tumenanga Ri Suangga
1825 - 1826
32.
I Kumala Daeng Parani Karaeng Lembangparang Sultan Abdul Kadir Aididin Tumenanga Ri Kakuasanna.
1826 - 1893
33.
I Mallingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Muhammad Idris Tumenanga Ri KalaÕbiranna.
1893 - 1895
34.
I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Muhammad Husain Tumenanga Ri BunduÕna.
1895 - 1906
35.
I Mangngi-mangngi Daeng Mattutu Karaeng Bontonompo Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin Karaeng Ilanga Tumenaga Ri Sungguminasa.
1906 - 1946
36.
Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aiduddin Tumenanga Ri Jongaya.
1946 - 1957

 

Masa Kemerdekaan

ada tahun 1950 berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 Daerah Gowa terbentuk sebagai Daerah Swapraja dari 30 daerah Swapraja lainnya dalam pembentukan 13 Daerah Indonesia Bagian Timur. Sejarah Pemerintahan Daerah Gowa berkembang sesuai dengan sistem pemerintahan negara. Setelah Indonesia Timur bubar dan negara berubah menjadi sistem Pemerintahan Parlemen berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara  (UUDS) tahun 1950 dan Undang-undang Darurat Nomor 2 Tahun 1957, maka daerah Makassar bubar.
Pada tanggal 17 Januari 1957 ditetapkan berdirinya kembali Daerah Gowa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan ditetapkan sebagai daerah Tingkat II . Selanjutnya dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pemerintahan Daerah untuk seluruh wilayah Indonesia tanggal 18 Januari 1957 telah dibentuk Daerah-daerah Tingkat II.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 tahun 1957 sebagai penjabaran Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 mencabut Undang-Undang Darurat No. 2 Tahun 1957 dan menegaskan Gowa sebagai Daerah Tingkat II yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Untuk operasionalnya dikeluarkanlah Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor U.P/7/2/24 tanggal 6 Pebruari 1957 mengangkat Andi Ijo Karaeng Lalolang sebagai Kepala Daerah yang memimpin  12 (dua belas) Daerah bawahan Distrik yang dibagi dalam 4 (empat) lingkungan kerja pemerintahan yang disebut koordinator masing-masing :
a.   Koordinator Gowa Utara, meliputi Distrik Mangasa, Tombolo, Pattallassang, Borongloe, Manuju dan Borisallo. Koordinatornya berkedudukan di Sungguminasa.
b.     Koordinator Gowa Timur, meliputi Distrik Parigi, Inklusif Malino Kota dan Tombolopao. Koordinatonya berkedudukan di Malino.
c.     Koordinator Gowa Selatan, meliputi Distrik Limbung dan Bontonompo. Koordinatornya berkedudukan di Limbung.
d.      Koordinator Gowa Tenggara, meliputi Distrik Malakaji, koordinatornya berkedudukan di Malakaji.
Pada tahun 1960 berdasarkan kebijaksanaan Pemerintah Pusat di seluruh Wilayah Republik Indonesia diadakan Reorganisasi Distrik menjadi Kecamatan. untuk Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa yang terdiri dari 12 Distrik diubah menjadi 8 Kecamatan masing-masing :
a.       Kecamatan Tamalate dari Distrik Mangasa dan Tombolo.
b.      Kecamatan Panakkukang dari Distrik Pattallassang.
c.       Kecamatan Bajeng dari Distrik Limbung.
d.      Kecamatan Pallangga dari Distrik Limbung.
e.       Kecamatan Bontonompo dari Distrik Bontonompo
f.       Kecamatan Tinggimoncong dari Distrik Parigi dan Tombolopao
g.       Kecamatan Tompobulu dari Distrik Malakaji.
h.      Kecamatan Bontomarannu dari Distrik Borongloe, Manuju dan Borisallo.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1971 tentang perluasan Kotamadya Ujung Pandang sebagai Ibukota Propinsi, Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa menyerahkan 2 (dua) Kecamatan yang ada di wilayahnya, yaitu Kecamatan Panakkukang dan sebagian Kecamatan Tamalate dan Desa Barombong Kecamatan Pallangga (seluruhnya 10 Desa) kepada Pemerintah Kotamadya Ujung Pandang.
Terjadinya penyerahan sebagian wilayah tersebut, mengakibatkan makna samarnya jejak sejarah Gowa di masa lampau, terutama yang berkaitan dengan aspek kelautan pada daerah Barombong dan sekitarnya. Hal ini mengingat, Gowa justru pernah menjadi sebuah Kerajaan Maritim yang pernah jaya di Indoneia Bagian Timur, bahkan sampai ke Asia Tenggara.
Dengan dilaksanakannya Undang-Undang Nomor 51 tahun 1971, maka praktis wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa mengalami perubahan yang sebelumnya terdiri dari 8 (delapan) Kecamatan dengan 56 Desa menjadi 7 (tujuh) Kecamatan dengan 46 Desa.
Sebagai akibat dari perubahan itu pula, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa berupaya dan menempuh kebijaksanaan-kebijaksanaan yang didukung oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan membentuk 2 (dua) buah Kecamatan yaitu Kecamatan Somba Opu dan Kecamatan Parangloe.    
Guna memperlancar pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan masyarakat Kecamatan Tompobulu, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Sulawesi Selatan No.574/XI/1975 dibentuklah Kecamatan Bungaya hasil pemekaran Kecamatan Tompobulu. Berdasarkan PP  No. 34 Tahun 1984, Kecamatan Bungaya di defenitifkan sehingga jumlah kecamatan di Kabupaten Gowa menjadi 9 (sembilan).
Selanjutnya pada tahun 2006, jumlah kecamatan di Kabupaten Gowa telah menjadi 18 kecamatan akibat adanya pemekaran di beberapa kecamatan dengan jumlah desa/kelurahan definitif pada tahun 2006 sebanyak 167 dan 726 dusun/lingkungan.
Dalam sejarah perkembangan pemerintahan dan pembangunan mulai dari zaman kerajaan sampai dengan era kemerdekaan dan reformasi, wilayah Pemerintah Kabupaten Gowa telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sebagai daerah agraris yang berbatasan langsung dengan Kota Makassar Ibu Kota Propinsi Sulawesi Selatan menjadikan Kabupaten Gowa sebagai daerah pengembangan perumahan dan permukiman selain Kota Makassar.
Kondisi ini secara gradual menjadikan daerah Kabupaten Gowa yang dulunya sebagai daerah agraris sentra pengembangan pertanian dan tanaman pangan yang sangat potensial, juga menjadi sentra pelayanan jasa dan perekonomian.

B.     ARTI DAN MAKNA LAMBANG KABUPATEN GOWA
  1. Dasar lambang warna putih melambangkan tanda suci dengan itikad yang luhur untuk mencapai cita-cita bangsa yaitu masyarakat adil dan makmur yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Bentuk bingkai persegi lima warna hitam adalah melambangkan Pancasila Dasar dan Falsafah Negara Republik Indonesia.
  3. Buah padi berwarna kuning emas dan buah kapas berwarna putih melingkari bingkai persegi lima, perlambang kemakmuran.
  4. Bagian depan terdapat tangga berwarna hitam bertuliskan Gowa dengan huruf latin warna putih menghubungkan buah padi dan kapas, perlambang Gowa siap melaksanakan pembangunan yang bertahap.
  5. Depan benteng nampak terpancang dua buah meriam warna merah, dimukanya bertengger seekor ayam jantan berwarna putih berjengger merah sedang berkokok, perlambang kepahlawanan nasional Sultan Hasanuddin yang berasal dari Gowa.
  6. Di tengah-tengah berdiri sebatang pohon lontar, berwarna hitam, buah sembilan biji berwarna merah, perlambang kebudayaan Gowa sebagai bagian dari kebudayaan nasional.
  7. Latar belakang lambang nampak sinar warna kuning emas dengan pancaran tujuh belas, perlambang Proklamasi 17 Agustus dan daun nyiur melambai, perlambang tanah airku Indonesia.


ARTI WARNA :::
1.      Warna putih berarti kesucian
2.      Warna hitam berarti keabadian
3.      Warna merah berarti kejayaan
4.      Warna kuning berarti keluhuran
5.      Warna hijau berarti kesuburan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar